Sabtu, 06 November 2021

Artikel 2 (Masailul Fiqhiyah)

 

UTS MASAIL FIQHIYAH

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL

A.    Pendahuluan

            Pada zaman sekarang ini banyak sekali orang yang menyalahgunakan pergaulan dengan lawan jenisnya. Banyak pemuda-pemudi di Indonesia yang mengikuti pergaulan para pemuda di negara-negara barat, seperti di Amerika bayak para wanita yang belum menikah tetapi mereka sudah tidak perawan lagi. Bahkan orang tua dari para pemuda menyediakan pengaman untuk anak mereka agar dapat melakukan hubungan seks diluar nikah untuk mencari pasangan hidup yang cocok, sehingga para pemuda dinegara kita banyak yang mengikuti hal tersebut.

            Patut kita sadari bahwa kita hidup dinegara Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam, sehingga melakukan hubungan seks diluar nikah itu bukanlah hal yang baik, bahkan itu disebut Zina.  Karena banyak pemuda-pemuda di Indonesia yang berhubungan seks sehingga mengakibatkan hamil diluar nikah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.     Kronologi (Kasus/peristiwa/kejadian)

Di daerah sekitar ada sepasang kekasih yang setiap hari jalan bareng, dari makan, jalan-jalan dan kemanapun selalu bersama seperti halnya suami Istri. Banyak orang-orang membicarakanya karena sepasang kekasih tersebut berpacaran tapi tidak sewajarnya, sehingga masyarakat banyak yang miris melihatnya. Pada suatu hari tiba-tiba terdengar bahwa pasangan tersebut sudah menikah dan tanpa dari persetujuan orang tuanya. Si perempuan tersebut lari kerumah pacarnya dan menikah dengan wali hakim (tanpa seizin dari orang tuanya). Pada saat itu dia sudah hamil lima bulan. Karena pada dasarnya laki-lakinya memang seorang yang tidak baik akhlaknya. Orang tua sudah tidak merestui dengan hubunganya. Dan peerempuan tersebut selalu mengatakan bahwa sudah tidak mempunyai hubungan lagi dengan pacarnya. Tapi tidak disangka malah dia sudah hamil dan kemudian akhirnya menikah. Faktor seperti ini sering terjadi karena terjadinya keteledoran masyarakat, yang tidak lain karena pelanggaran rambu rambu agama. Dengan demikian akhirnya lahirlah anak akibat dari hasil perzinaan yang dilarang agama, nasab, waris dan sebagainya.

Perbuatan zina sendiri merupakan dosa yang sangat besar dan sanat keji serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

C.    Menikahi wanita hamil dalam perpektif Islam

(Lintas Madhab)

Menurut komplikasi hukum islam bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat dari perbuatan zina bila yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahi bukan yang menghamilinya hukumnya menjadi tidak sah. Adapun menikahi wanita hamil tetapi bukan karena zina tetapi karena diceraikan oleh suaminya maka menurut kesepakatan ulama hukumnya tidak boleh dinikahi sampai habis masa iddahnya, dan iddahnya itu ialah sampai dia melahirkan sebagaimana Firman Allah SWT

وَأُولَاتُ الْأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

          “dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkanya.”(QS.Ath-Tholaq:4)

Dan hukum menikah dengan wanita hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah ta’ala.

وَلاَ تَعْرِمُوا عُقْدَةَ النِّكاَحِ حَتّىَ يَبْلُغَ الْكِتاَبُ أَجَلَهُ

“dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk bertekad nikah sebelum habis iddahnya “(QS.Al-Baqarah ayat 235)

Alasan keharaman dan ketidaksahan menikahi wanita hamil yang cerai dari suaminya adalah karena pada masa iddah terdapat larangan menikah sebab wanita pada masa iddah sejatinya masih memiliki ikatan perkawinan dengan suami yang menceraikannya dan ada beberapa konsekuensi hukum yang masih terikat dengan suami yang menceraikanya tersebut seperti rujuk, mt’ah, nafkah dan lain sebagainya.

Hamil diluar nikah itu merupakan perbuatan zina baik oleh pria yang meghamilinya maupun wanita yang hamil.

Beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut:

a.       Ulama syafiiyah

Ulama syafi’iyah berpendapat hukumnya sah menikahi wanita hamil karena zina baik yang menikahi laki-laki yang menghamili maupun bukan yang menghamilinya. Alasanya wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi itu halal untuk disetubuhi walaupun dalam keadaan hamil.

b.      Ulama Hanafiyah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahi laki-laki yang menghamilinya, alasanya wanita hamil akibat zina tidak termasuk wanita-wanita haram untuk dinikahi sebagaimana yang termasuk dalam QS An-Nisa ayat 22 yang artinya “ dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).

c.       Ulama Malikiyah

Ulama malikiyah berpendapat bahwa wanita berzina baik atas dasar suka sama suka atau diperkosa hamil atau tidak ia wajib istibra. Bagi wanita merdeka dan tidak hamil istibra’nya tiga kali haid, tetapi apabila ia hamil baik wanita merdeka maupun budak istibra’nya samapi melahirkan. Degan demikian ulama malikiyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya. Apabila akad nikah itu tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil maka itu hukumnya fasid.

d.      Ulama Hanabilah

Ulama hanabillah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil yang diketahui telah berbuat zina baik itu dengan laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Kecuali wanita tersebut memenuhi dua syarat pertama, telah habis telah habis masa idahnya. Jika hamil idahnya habis dengan melahirkan kandunganya. Bila kad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikah tidak sah. Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina.[1]

e.       Imam Abu Yusuf

Beliau mengatakan keduanya tidak boleh dikawinkan karena bila dikawinkan maka perkawinanya fasid atau batal. Pernyataan ini didasarkan pada sebuah ayat dan keterangan dari hadist yang bersumber dari Sa’id bin Musayab yang berturut-turut disebutkan artinya:”laki-laki yang zina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak mungkin dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian diharamkan atas orang-orang yang mu’min.

f.       Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy Syaibani

Beliau mengatakan perkawinan sah tetapi diharamkan baginya mengadakan senggama hingga bayi yang dikandungnya itu lahir. Pendapat ini didasrkan pada hadist yang artinya:” janganlah menikahi wanita yang hamil hingga lahir kandunganya.

Selain pendapat diatas Ibnu Hazm mengatakan :”keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan senggama bila ia telah bertaubat dan mengalami hukuman dera (cambuk) karena keduanya telah berzina “ pendapat Hazm telah dilandasi berdasarkan keputusan hukum yang telah yang diterapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang yang berbuat hal tersebut antara lain diriwayatkan:

1.      Ketika jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orangyang telah berzina maka ia berkata”boleh mengawinkanya asalkan keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifatnya.

2.      Seorang laki-laki yang keberatan mengajukan pertanyaannya kepada Khalifah Abu Bakar lalu berkata”hai amirul mu’minin putriku telah dikumpuli oleh tamuku dan kuinginkan agar keduanya dikawinkan ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan dera kepada keduanya, kemudian dikawinkan.[2]

Pengertian Zina

Zina dalam Perspektif hukum Islam

            Zina menurut Al-Jurjani ialah :

اَلوَ طْاُ فِي قُبُلٍ خَالٍ عَنْ مِلْكٍ وَشُبْهَةٍ

Artinya : memasukkan penis (zakar, bahsa Arab) kedalam vagina (farj, bahasa Arab) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan)

            Dari definisi Zina diatas, maka suatu perbuatan dapat dikatakan zina apabila sudah memenuhi dua unsur, ialah :

a.       Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminya (heterosex), dan

b.      Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sexs.

Dengan unsur pertama maka jika orang berbeda kelaminya baru bermesraan misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan zina, yang dapat dijatuhi hukum had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah kawin, tetapi mereka bisa dihukum yang bersifat edukatif.

Dengan unsur kedua, syubhat maka sexual intercourse yang dilakukan oleh orang karena kekeliruan misalnya dikira istrinya juga tidak dapat disebut zina.

Selain itu zina merupakan perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi yang sangat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang dapat dipertanggung jawabkan secra moral dan akal. Kenapa zina diancam hukuman berat karena perbuatan zina sangat dicela dalam islam dan pelakunya dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal dengan disaksikan orang banyak) jika ia muhsan dan jika ghiru muhsan maka dihukum dengan dcambuk 100 kal. Adanya perbedaan hukuman tersebut karena seharusnya muhsan lebih bisa menjaga diri

Hukum Pidana Islam mengenai kasus Zina

a.       Semua pelaku zina wanita pria dapat dikenai ancaman hukum had, hanya dibedakan hukumanya yakni bagi pelaku yang belum kawin di ancaman dengan hukuman dera dengan pukulan tongkat, tangan atau sepatu (praktek dizaman Nabi dan khalifah-khalifah sesudahnya) sedangkan bagi yang telah kawin diancaman dengan hukuman rajam berdasarkan sunnah Nabi.

b.      Islam memandang bahwa zina merupakan perbuatan dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan. Sebab zina mengandung bahaya bagi pelaku dan masyarakat.

Pengertian Anak Zina

Anak zina dalam pandangan islam merupakan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan undang-undang yang berlaku.[3]

Menurut perdata hukum Islam anak zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini

“semua anak dilahirkan atas kesucian atau kebersihan (dari segala dosa atau noda) dan perkawinan beragama tauhid sehingga ia jelas bicaranya, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anknya yahudi atau nasrani atau majusi. (hadist riwayat Abu Ya’la al-Thabrani dan al baihaqi dari al-aswad bin Sari)

Mengenai status anak zina ada 2 pendapat, yaitu:

a.       Menurut Imam Maliki anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya anak itu dapat dinasabkan pada bapaknya, akan tetapi jika anak itu dilahirkan sebelum 6 bulan dari perkawinan ibu bapaknya maka bisa dinasabkan pada ibunya saja, karena diduga ibunya telah berhungan badan dengan orang lain sedangkan batas waktu hamil minimal enam bulan. Artinya tidak ada hubungan kewarisan antara anak zina dengan ayahnya[4]

b.      Menurut imam Abu Hanifah anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya tanpa memepertimbangkan waktu kehamilan si Ibu.[5]

Selanjutnya status anak karena hasil zina perzinaan, para  ulama berpendapat bahwa nasab anak zina itu mengikuti ibunya didasrkan pada kelahiran (wiladah) baik berasal dari perkawinan yang sah maupun fasid (tidak terpenuhi rukun dan syarat), perzinaan maupun wath’i (persetubuhan) secara syubhat (terjadi kekeliruan). Sementara ketika menghubungkan nasab anak yang dilahirkan dari wanita hamil karena zina baik yang dinikahi oleh laki-laki yang mengzinahinya disini terjadi selisih faham. Sebenarnya ulama salaf sepakat bahwa nasab anak zina hanya mengikuti ibunya, sementara disisi lain menurut ulama penetuan nasab didasrkan fakta pernikahan, what’i syubhat dan hubungan tubuh budak sayyid .[6]

D.  Pandangan Tokoh Masyarakat :

Saya disini wawancara dengan salah satu tokoh di desa saya bahwa menikahi wanita hamil itu hukumnya sah karena tidak ada larangan menikahi wanita hamil asalkan laki-lakinya masih bisa bisa besetubuh selama enam bulan, karena jika berkumpulnya sudah tidak ada enam bulan maka anak nya tersebut jika perempuan tidak muhrim kepada ayahnya. Karena seorang ibu yang melahirkan anak setelah 6 bulan sejak akad nikah. Jika dia kurang dari 6 bulan maka nasab anak tidak dapat dihubungkan kepada suaminya sebagai bapak dari anak. Karena 6 bulan merupakan batas minimal masa janin dalam kandungan ibunya. Dengan demikian jika istrinya melahirkan anak sebelum 6 bukan maka hal itu menunjukkan bahwa kandungan itu terjadi sebelum akad nikah. Artinya nasab anak tidak boleh dihubungkan kepada suami kecuali suami tersebut mengakui bahwa anak itu merupakan anaknya dia  tidak menjelaskan bahwa anak itu berasal dari hamil akbiat zina.

 

 

 

 

 

 

 

E.  Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinana dengan wanita hamil adalah sah baik oleh laki-laki yang menhamilinya maupun bukan yang menghamilinya tanpa melihat adanya syarat-syarat yang dikemukakan oleh ibnu Hazm, karena bahwa syarat tersebut tidak ada kaitanya dengan sah atau tidaknya perkwinan itu sendiri dan saya setuju dilarang laki-laki yang bukan menghamilinya mengumpuli istrinya, sampai anaknya lahir. Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat mengganggu janin dalam kandungan ibunya, dan saya setuju bahwa status anak nya tersebut bukan anak bapaknya secara hukum agama islam tetapi secara biologis tetap termasuk anaknya karena kejadian bayi tersebut bersumber dari sel sperma dan sel telur. Maka apabila bayi tersebut hasil zina yang secara hukum tidak memdapatkan warisan dari orang yang mengawini ibunya ketika dikandung karena tidak diakui ayahnya dalam hukum islam.

F.   Penutup

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan tugas UTS ini terutama kepada Allah SWT karena atas ridhonya saya bisa menyelesaikanya. Namun, saya juga memohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam pembuatan Tugas UTS ini . untuk itu kritik dan saran pembaca saya butuhkan demi perbaikan pembuatan tugas kedepanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

G. Daftar Pustaka

Hujaimah Tahido Yanggo. 2005. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam

            Kontemporer. Cet 1 Angkasa 

Mahjudin. 2005. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia.

M. Ali Hasan. 1997. Masail Fiqih al haditsah Fiqhiyah masalah-masalah

            Kontemporer hukum Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo

Zuhdi, Masjfuk.1997.  Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo.

http://www.google.com/amp/a/dalamislam.com/hukumislam.com/pernikahan/hukum-menikahi-wanita-hamil/amp#ampshare=https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-menikahi-wanita-hamil diakses pada Senin, 26 Maret 2018 pukul 19:24.

http://eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2016/04/hukum-menikahi-wanita-hamil-dan status.html?m=1diakses pada Selasa, 27 Maret 2018 pukul 12:14

H.  Biodata Singkat Penulis

Nama : Iza Nafia

Nim    : 2021116123



[2]Mahjudin, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia,  2005), hlm 56

[3]  Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1997),  hlm 34-40

[4] Hujaimah Tahido Yanggo. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. Cet 1 (Angkasa  2005

[5] M. Ali Hasan, Masail Fiqih al haditsah Fiqhiyah masalah-masalah Kontemorer hukum Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo,1997) hlm 53

[6] http://eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2016/04/hukum-menikahi-wanita-hamil-dan status.html?m=1diakses pada Selasa, 27 Maret 2018 pukul 12:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar