UTS
MASAIL FIQHIYAH
HUKUM
MENIKAHI WANITA HAMIL
A.
Pendahuluan
Pada zaman sekarang ini banyak
sekali orang yang menyalahgunakan pergaulan dengan lawan jenisnya. Banyak
pemuda-pemudi di Indonesia yang mengikuti pergaulan para pemuda di
negara-negara barat, seperti di Amerika bayak para wanita yang belum menikah
tetapi mereka sudah tidak perawan lagi. Bahkan orang tua dari para pemuda
menyediakan pengaman untuk anak mereka agar dapat melakukan hubungan seks
diluar nikah untuk mencari pasangan hidup yang cocok, sehingga para pemuda
dinegara kita banyak yang mengikuti hal tersebut.
Patut kita sadari bahwa kita hidup
dinegara Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam, sehingga melakukan
hubungan seks diluar nikah itu bukanlah hal yang baik, bahkan itu disebut Zina. Karena banyak pemuda-pemuda di Indonesia yang
berhubungan seks sehingga mengakibatkan hamil diluar nikah.
B.
Kronologi (Kasus/peristiwa/kejadian)
Di daerah sekitar ada sepasang kekasih yang setiap hari jalan
bareng, dari makan, jalan-jalan dan kemanapun selalu bersama seperti halnya
suami Istri. Banyak orang-orang membicarakanya karena sepasang kekasih tersebut
berpacaran tapi tidak sewajarnya, sehingga masyarakat banyak yang miris
melihatnya. Pada suatu hari tiba-tiba terdengar bahwa pasangan tersebut sudah
menikah dan tanpa dari persetujuan orang tuanya. Si perempuan tersebut lari
kerumah pacarnya dan menikah dengan wali hakim (tanpa seizin dari orang
tuanya). Pada saat itu dia sudah hamil lima bulan. Karena pada dasarnya
laki-lakinya memang seorang yang tidak baik akhlaknya. Orang tua sudah tidak
merestui dengan hubunganya. Dan peerempuan tersebut selalu mengatakan bahwa
sudah tidak mempunyai hubungan lagi dengan pacarnya. Tapi tidak disangka malah
dia sudah hamil dan kemudian akhirnya menikah. Faktor seperti ini sering
terjadi karena terjadinya keteledoran masyarakat, yang tidak lain karena
pelanggaran rambu rambu agama. Dengan demikian akhirnya lahirlah anak akibat
dari hasil perzinaan yang dilarang agama, nasab, waris dan sebagainya.
Perbuatan zina sendiri merupakan dosa yang sangat besar dan sanat
keji serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang.
C.
Menikahi wanita hamil dalam perpektif Islam
(Lintas Madhab)
Menurut
komplikasi hukum islam bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat dari
perbuatan zina bila yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang
menikahi bukan yang menghamilinya hukumnya menjadi tidak sah. Adapun menikahi
wanita hamil tetapi bukan karena zina tetapi karena diceraikan oleh suaminya
maka menurut kesepakatan ulama hukumnya tidak boleh dinikahi sampai habis masa
iddahnya, dan iddahnya itu ialah sampai dia melahirkan sebagaimana Firman Allah
SWT
وَأُولَاتُ الْأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka
melahirkanya.”(QS.Ath-Tholaq:4)
Dan hukum
menikah dengan wanita hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak
sah sebagaimana dalam firman Allah ta’ala.
وَلاَ
تَعْرِمُوا عُقْدَةَ النِّكاَحِ حَتّىَ يَبْلُغَ الْكِتاَبُ أَجَلَهُ
“dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk bertekad
nikah sebelum habis iddahnya “(QS.Al-Baqarah ayat 235)
Alasan
keharaman dan ketidaksahan menikahi wanita hamil yang cerai dari suaminya
adalah karena pada masa iddah terdapat larangan menikah sebab wanita pada masa
iddah sejatinya masih memiliki ikatan perkawinan dengan suami yang
menceraikannya dan ada beberapa konsekuensi hukum yang masih terikat dengan
suami yang menceraikanya tersebut seperti rujuk, mt’ah, nafkah dan lain
sebagainya.
Hamil
diluar nikah itu merupakan perbuatan zina baik oleh pria yang meghamilinya
maupun wanita yang hamil.
Beberapa
pendapat ulama mengenai hal tersebut:
a.
Ulama
syafiiyah
Ulama syafi’iyah berpendapat hukumnya sah menikahi wanita hamil
karena zina baik yang menikahi laki-laki yang menghamili maupun bukan yang
menghamilinya. Alasanya wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita
yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad yang
dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi itu halal untuk disetubuhi
walaupun dalam keadaan hamil.
b.
Ulama
Hanafiyah
Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang
menikahi laki-laki yang menghamilinya, alasanya wanita hamil akibat zina tidak
termasuk wanita-wanita haram untuk dinikahi sebagaimana yang termasuk dalam QS
An-Nisa ayat 22 yang artinya “ dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan
yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian) pada masa yang telah
lampau, sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci dan seburuk-buruknya
jalan (yang ditempuh).
c.
Ulama
Malikiyah
Ulama
malikiyah berpendapat bahwa wanita berzina baik atas dasar suka sama suka atau
diperkosa hamil atau tidak ia wajib istibra. Bagi wanita merdeka dan tidak
hamil istibra’nya tiga kali haid, tetapi apabila ia hamil baik wanita merdeka
maupun budak istibra’nya samapi melahirkan. Degan demikian ulama malikiyah
berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina,
meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya. Apabila akad nikah itu
tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil maka itu hukumnya fasid.
d.
Ulama
Hanabilah
Ulama hanabillah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita
hamil yang diketahui telah berbuat zina baik itu dengan laki-laki yang
menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Kecuali wanita tersebut memenuhi
dua syarat pertama, telah habis telah habis masa idahnya. Jika hamil idahnya
habis dengan melahirkan kandunganya. Bila kad nikah dilangsungkan dalam keadaan
hamil maka akad nikah tidak sah. Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina.[1]
e.
Imam
Abu Yusuf
Beliau
mengatakan keduanya tidak boleh dikawinkan karena bila dikawinkan maka
perkawinanya fasid atau batal. Pernyataan ini didasarkan pada sebuah ayat dan
keterangan dari hadist yang bersumber dari Sa’id bin Musayab yang
berturut-turut disebutkan artinya:”laki-laki yang zina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan
yang berzina tidak mungkin dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik dan yang demikian diharamkan atas orang-orang yang mu’min.
f.
Imam
Muhammad bin Al-Hasan Asy Syaibani
Beliau
mengatakan perkawinan sah tetapi diharamkan baginya mengadakan senggama hingga
bayi yang dikandungnya itu lahir. Pendapat ini didasrkan pada hadist yang
artinya:” janganlah menikahi wanita yang hamil hingga lahir kandunganya.
Selain pendapat
diatas Ibnu Hazm mengatakan :”keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan
senggama bila ia telah bertaubat dan mengalami hukuman dera (cambuk) karena
keduanya telah berzina “ pendapat Hazm telah dilandasi berdasarkan keputusan
hukum yang telah yang diterapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang yang
berbuat hal tersebut antara lain diriwayatkan:
1.
Ketika
jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orangyang telah
berzina maka ia berkata”boleh mengawinkanya asalkan keduanya telah bertaubat
dan memperbaiki sifatnya.
2.
Seorang
laki-laki yang keberatan mengajukan pertanyaannya kepada Khalifah Abu Bakar
lalu berkata”hai amirul mu’minin putriku telah dikumpuli oleh tamuku dan
kuinginkan agar keduanya dikawinkan ketika itu khalifah memerintahkan kepada
sahabat lain untuk melakukan dera kepada keduanya, kemudian dikawinkan.[2]
Pengertian
Zina
Zina dalam
Perspektif hukum Islam
Zina menurut Al-Jurjani ialah :
اَلوَ
طْاُ فِي قُبُلٍ خَالٍ عَنْ مِلْكٍ وَشُبْهَةٍ
Artinya :
memasukkan penis (zakar, bahsa Arab) kedalam vagina (farj, bahasa Arab) bukan
miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau
kekeliruan)
Dari definisi Zina diatas, maka
suatu perbuatan dapat dikatakan zina apabila sudah memenuhi dua unsur, ialah :
a.
Adanya
persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminya
(heterosex), dan
b.
Tidak
adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sexs.
Dengan
unsur pertama maka jika orang berbeda kelaminya baru bermesraan misalnya
berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan zina, yang dapat dijatuhi hukum
had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah
kawin, tetapi mereka bisa dihukum yang bersifat edukatif.
Dengan
unsur kedua, syubhat maka sexual intercourse yang dilakukan oleh orang karena
kekeliruan misalnya dikira istrinya juga tidak dapat disebut zina.
Selain
itu zina merupakan perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi
yang sangat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan secra moral dan akal. Kenapa zina diancam hukuman berat
karena perbuatan zina sangat dicela dalam islam dan pelakunya dihukum dengan
hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal dengan disaksikan orang banyak)
jika ia muhsan dan jika ghiru muhsan maka dihukum dengan dcambuk 100 kal.
Adanya perbedaan hukuman tersebut karena seharusnya muhsan lebih bisa menjaga
diri
Hukum
Pidana Islam mengenai kasus Zina
a.
Semua
pelaku zina wanita pria dapat dikenai ancaman hukum had, hanya dibedakan
hukumanya yakni bagi pelaku yang belum kawin di ancaman dengan hukuman dera
dengan pukulan tongkat, tangan atau sepatu (praktek dizaman Nabi dan
khalifah-khalifah sesudahnya) sedangkan bagi yang telah kawin diancaman dengan
hukuman rajam berdasarkan sunnah Nabi.
b.
Islam
memandang bahwa zina merupakan perbuatan dosa besar yang harus ditindak tanpa
menunggu pengaduan dari yang bersangkutan. Sebab zina mengandung bahaya bagi
pelaku dan masyarakat.
Pengertian Anak Zina
Anak zina dalam pandangan islam merupakan anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan undang-undang
yang berlaku.[3]
Menurut perdata hukum Islam anak zina itu suci dari segala dosa
orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini
“semua anak dilahirkan atas kesucian atau kebersihan (dari segala
dosa atau noda) dan perkawinan beragama tauhid sehingga ia jelas bicaranya,
maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anknya yahudi atau nasrani atau
majusi. (hadist riwayat Abu Ya’la al-Thabrani dan al baihaqi dari al-aswad bin
Sari)
Mengenai status anak zina ada 2 pendapat, yaitu:
a.
Menurut
Imam Maliki anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya
anak itu dapat dinasabkan pada bapaknya, akan tetapi jika anak itu dilahirkan
sebelum 6 bulan dari perkawinan ibu bapaknya maka bisa dinasabkan pada ibunya
saja, karena diduga ibunya telah berhungan badan dengan orang lain sedangkan
batas waktu hamil minimal enam bulan. Artinya tidak ada hubungan kewarisan
antara anak zina dengan ayahnya[4]
b.
Menurut
imam Abu Hanifah anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya tanpa
memepertimbangkan waktu kehamilan si Ibu.[5]
Selanjutnya status anak karena hasil zina perzinaan, para ulama berpendapat bahwa nasab anak zina itu
mengikuti ibunya didasrkan pada kelahiran (wiladah) baik berasal dari
perkawinan yang sah maupun fasid (tidak terpenuhi rukun dan syarat), perzinaan
maupun wath’i (persetubuhan) secara syubhat (terjadi kekeliruan). Sementara
ketika menghubungkan nasab anak yang dilahirkan dari wanita hamil karena zina
baik yang dinikahi oleh laki-laki yang mengzinahinya disini terjadi selisih
faham. Sebenarnya ulama salaf sepakat bahwa nasab anak zina hanya mengikuti
ibunya, sementara disisi lain menurut ulama penetuan nasab didasrkan fakta
pernikahan, what’i syubhat dan hubungan tubuh budak sayyid .[6]
D.
Pandangan Tokoh Masyarakat :
Saya disini wawancara dengan salah satu tokoh di desa saya bahwa
menikahi wanita hamil itu hukumnya sah karena tidak ada larangan menikahi
wanita hamil asalkan laki-lakinya masih bisa bisa besetubuh selama enam bulan,
karena jika berkumpulnya sudah tidak ada enam bulan maka anak nya tersebut jika
perempuan tidak muhrim kepada ayahnya. Karena seorang ibu yang melahirkan anak
setelah 6 bulan sejak akad nikah. Jika dia kurang dari 6 bulan maka nasab anak
tidak dapat dihubungkan kepada suaminya sebagai bapak dari anak. Karena 6 bulan
merupakan batas minimal masa janin dalam kandungan ibunya. Dengan demikian jika
istrinya melahirkan anak sebelum 6 bukan maka hal itu menunjukkan bahwa
kandungan itu terjadi sebelum akad nikah. Artinya nasab anak tidak boleh
dihubungkan kepada suami kecuali suami tersebut mengakui bahwa anak itu
merupakan anaknya dia tidak menjelaskan
bahwa anak itu berasal dari hamil akbiat zina.
E.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinana dengan wanita hamil adalah sah baik
oleh laki-laki yang menhamilinya maupun bukan yang menghamilinya tanpa melihat
adanya syarat-syarat yang dikemukakan oleh ibnu Hazm, karena bahwa syarat tersebut
tidak ada kaitanya dengan sah atau tidaknya perkwinan itu sendiri dan saya
setuju dilarang laki-laki yang bukan menghamilinya mengumpuli istrinya, sampai
anaknya lahir. Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat
mengganggu janin dalam kandungan ibunya, dan saya setuju bahwa status anak nya
tersebut bukan anak bapaknya secara hukum agama islam tetapi secara biologis
tetap termasuk anaknya karena kejadian bayi tersebut bersumber dari sel sperma
dan sel telur. Maka apabila bayi tersebut hasil zina yang secara hukum tidak
memdapatkan warisan dari orang yang mengawini ibunya ketika dikandung karena
tidak diakui ayahnya dalam hukum islam.
F.
Penutup
Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan tugas UTS ini terutama kepada Allah SWT karena atas ridhonya
saya bisa menyelesaikanya. Namun, saya juga memohon maaf apabila masih banyak
kekurangan dalam pembuatan Tugas UTS ini . untuk itu kritik dan saran pembaca
saya butuhkan demi perbaikan pembuatan tugas kedepanya.
G.
Daftar Pustaka
Hujaimah
Tahido Yanggo. 2005. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam
Kontemporer. Cet 1 Angkasa
Mahjudin.
2005. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia.
M.
Ali Hasan. 1997. Masail Fiqih al haditsah Fiqhiyah masalah-masalah
Kontemporer hukum Islam. Jakarta:
PT.Raja Grafindo
Zuhdi,
Masjfuk.1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta:
PT. Midas Surya Grafindo.
http://www.google.com/amp/a/dalamislam.com/hukumislam.com/pernikahan/hukum-menikahi-wanita-hamil/amp#ampshare=https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-menikahi-wanita-hamil diakses pada Senin, 26 Maret 2018 pukul 19:24.
http://eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2016/04/hukum-menikahi-wanita-hamil-dan status.html?m=1diakses pada Selasa, 27 Maret 2018 pukul 12:14
H.
Biodata Singkat Penulis
Nama : Iza Nafia
Nim : 2021116123
[1]http://www.google.com/amp/a/dalamislam.com/hukumislam.com/pernikahan/hukum-menikahi-wanita-hamil/amp#ampshare=https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-menikahi-wanita-hamil diakses
pada selasa, 26 Maret 2018 pukul 19:24
[2]Mahjudin, Masail
Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia,
2005), hlm 56
[3] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1997), hlm 34-40
[4] Hujaimah
Tahido Yanggo. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. Cet 1 (Angkasa 2005
[5] M. Ali Hasan,
Masail Fiqih al haditsah Fiqhiyah masalah-masalah Kontemorer hukum Islam,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo,1997) hlm 53
[6] http://eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2016/04/hukum-menikahi-wanita-hamil-dan
status.html?m=1diakses pada Selasa, 27 Maret 2018 pukul 12:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar