Sabtu, 06 November 2021

Artikel 1 (Fiqih Munakahat)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh setiap orang islam, dan tujuan utama dalam perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang didalam ibadah ialah juga agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan mawaddah warahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunanya yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya. Namun disamping itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali didalam membangun rumah tangga seperti yang di cita-citakan oleh Rasulullah seringkali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor intern dan ekstern.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian, dasar hukum dan syarat talak?

2.      Apa pengertian, dasar hukum dan syarat khulu’, ‘ila, Lian dan Zhihar, iddah dan ruju’?

C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum dan syarat talak

2.      Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum dan syarat dan Rukun khulu’, ‘ila, Lian dan Zhihar, iddah dan ruju’

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.      TALAK

a.       Pengertian Talak

Secara harfiyah talak itu berarti lepas dan bebas. Dalam mengemukakan rumusan arti talak secara terminologis kelihatanya ulama mengatakan rumusan yang berbeda namun essensinya sama. Al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj at-Thalibin merumuskan:

Melepaskan hubungan pernikahan debgan menghubungkan lafadz talak dan sejenisnya.

            Talak dari segi syara’ merupakan melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan lafadz talak atau seumpamanya. Talak juga merupakan perceraian yang dilakukan oleh suami dengan lafadz talak satu, dua atau tiga sama ada secara nyata atau kiasan. Maka apabila sesudah berlaku talak tiga, rujuk atau kawin semula tidak boleh dilakukan lagi antara suami istri tersebut. Perkawinan semula anatara keduanya hanya dibenarkan jika istri yang diceraikan itu telah berkawin dengan lelaki lain dan melakukan persetubuhan dengan suaminya yang kedua dan selepas suami yang kedua dan selepas suami yang kedua itu dengan kerelaan sendiri menceraikan istrinya. Ini merujuk kepada firman Allah SWT yang bermaksud :“ sesudah (diceraikan dua kali) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sesudah itu, sehingga ia berkawin dengan suami yang lain. Setelah itu diceraikan (oleh suami yang habis iddahnya) maka mereka berdua (bekas suami dan bekas istri) tidaklah berdosa untuk kembali (berkawin semula) jika mereka benar-benar yakin dapat menegakkan aturan hukum Allah. Dan itulah aturan-aturan hukum Allah, diterangkan kepada kaum yang (mahu) mengetahui dan memahaminya” ( al-baqarah: 230).[1]

b.      Macam-Macam Talak

v  Talak Sunnah

Talak sunah merupakan talak yang terjadi dengan mengikuti perintah syara’. Talak sunah adalah suami yang menceraikan istri telah berhubungan dengan istri dengan satu kali talak. Istri dalam keadaan suci dan ia tidak menyentuhnya. Hal ini sebagaiman firman Allah :

لطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah (2) : 229)

Maksudnya bahwa talak disyariatkan dengan sekali dan boleh diikuti kembali (ruju’). Kemudian sekali lagi diikuti kembali seperti itu. Dan bagi yang dicerai setelah kedua kalinya terdapat pilihan anatara bersamanya dengan cara yang baik atau terpisah dengan cara yang baik.

v  Talak Bid’i

Talak bid’i merupakan talak yang berbeda dengan yang disyariatkanya seakan-akan ia menceraikanya tiga kali dalam satu kata. Atau ia menceraikanya tiga kali berbeda-beda pada satu tempat. Seakan-akan ia berkata:”engaku aku cerai, engakau aku cerai, engaku akau cerai.” Atau juga ia menceraikan waktu haidh dan nifas atau dalam waktu suci namun telah berhubungan denganya. Para ulama te;ah sepakat bahwa talak bid’i haram, sedangkan orang yang melakukanya itu berdosa.

            Kemudian talak dilihat dari segi kembalinya dan bagianya terbagi dalam dua hal, yaitu raj’i dan ba’in.

v  Talak Raj’i

Talak raj’i merupakan talak yang diperbolehkan bagi laki-laki untuk kembali pada istrinya sebelum habis masa iddah dengan tanpa mahar baru dan akad baru. Talak ini tidak menjadi jelas untuk istri seketika tetapi setelah berakhirnya iddah. Ia bernaung dalam lindungan suaminya hingga habis masa iddahnya. Ia tinggal dala rumah tangga yang disebutkanya atau rela jika dipilihkanya. Ia memberikan nafkahnya selama dirinyatidak takut atas suaminya. Maka pada saat kemudian ia pergi ke keluarganya.

v Talak Ba’in

Talak bain merupakan talak yang memutuskan yaitu suami tidak memiliki hak untuk kembali pada perempuan yang diceraikanya dalam masa iddahnya. Talak ba’in ada dua macam yaitu talak ba’in sughra dan talak ba’in qubra.

c.       Syarat-syarat Talak

1)      Dari segi individu, ia harus seseorang yang baligh, berakal, taat, dan terpilih. Maka talak tidak terjadi pada anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa, orang yang mabuk.

2)      Dari segi ucapan, para ulama fiqih menyatakan bahwa talak tidak terjadi kecuali menggunakan kata-kata yang jelas dengan talak seperti “engkau aku talak”

3)      Adapun dari segi tujuan talak haruslah dengan maksud ucapan bagi orang yang berniat dalam dirinya menalak istrinya dan tidak diucapkan dengan talak maka talaknya tidak terjadi. Bagi seorang yang mengucapkan talak karena dipaksa atau saat mabuk maka talaknya tidak terjadi karena ia kehilangan akalnya.

4)      Adapun dari segi jumlah, al-quran telah menjadikan talak tiga kali secara terpisah.

5)      Dari segi kesaksian, menurut mayoritas ulama fiqih bahwa kesaksian adalah wajib dalam talak.[2]

d.      Hukum Talak

1)      Makruh

Makruh apabila tidak dengan alasan yang dibenarkan oleh syara’ dan memang asal hukum dari talak itu adalah makruh.

2)      Mubah

Talak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang mengancam saah satu pihak baik itu suami maupun istri baik karena buruknya perangai si istri, pergaulanya yang kurang baik atau hal-hal buruk lainya. Namun talak tetap menjadi solusi terakhir setelah semua usaha untuk memperbaiki kondisi istri tidak membuahkan hasil.

3)      Haram

Talak yang diharamkan adalah talak yang dilakukan bukan karena adanya tuntunan yang dapat di benarkan. Hal itu akan membawa mudhorat bagi diri sang suami dan juga istrinya serta tidak memberikan kebaikan bagi keduanya.

4)      Sunah

Talak yang disunahkan adalah talak yang dilakukan terhadap seorang istri yang telah berbuat dhalim kepada hak-hak Allah yang harus diembanya, sepertoi shalat dan kewajiban-kewajiban lainya, berbagai cara telah ditempuh oleh sang suami untuk menyadarkanya, akan tetapi ia tetap tidak menghendaki perubahan.

5)      Wajib

Talak wajib adalah talak yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara suami dan istri jika masing-masing melihat bahwa talak adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan.

2.      KHULU’

a.       Pengertian

Khulu’ menurut bahasa berarti melepas. Khulu’ adalah tebusan yang dibayar oleh sang istri kepada suami yang membencinya agar ia (sang suami) dapat menceraikanya. Khulu’ sering disebut dengan talak tebus. Hukum khulu’ sama dengan talak pada dasarnya makruh kemudian dapat berubah menjadi sunah, mubah, wajib dan haram sesuai dengan alasan yang menyebabkanya.

b.      Syarat-syarat Khulu’

1)      Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah SWT.

2)      Hendaknya khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiyaan (menyakiti) yang dilakukan suami kepada istrinya. Jika ia menyakiti istrinya ia tidak boleh mengambil sesautu pun darinya.

3)      Khulu’ itu berasal dari istri dan bukan dari pihak suami. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama istrinya, suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta dari istrinya.

4)      Khulu’ sebagai talak ba’in sehingga suami tidak diperbolehkan merujuknya kembali kecuali setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan kemudian melalui proses akad nikah yang baru.

c.       Sebab-sebab Khulu’

Khulu’ hanya dibenarkan jika aa sebab-sebab yang menghendakinya. Sebab-sebab khulu’ itu secara garis besar ada dua macam sebagai berikut:

1)      Apabila istri sangat benci kepada suaminya karena alasan tertentu sehingga dikhawatirkan akan membuat istri tidak menaati suami.

2)      Apabila dikawatirkan suami istri tidak dapat menjalankan secara makruf.

d.      Rukun-rukun Khulu’

1) suami yang baligh, berakal, dan atas kemauanya.

2) istri yang dalam kekuasaan suami yang belum di ceraikan dengan talak yang boleh dirujuk.

3) ucapan yang menunjukkan khulu’

4) tebusan. Yaitu suatu yang boleh dijadikan mahar.[3]

3. ZHIHAR

a. pengertian zhihar

zhihar menurut etimologi berasal dari kata zhahr yang berarti punggung. Sedangkan secara terminologi syariah, konteks membandingkan atau menyamakan istri dengan ibunya sering disebut dengan zhihar. Zhihar dapat didefinisikan sebagai seorang suami yang mengungkapkan bahwa istrinya itu menyerupai (secara hukum) dengan wanita yang haram dinikahinya secara seterusnya, seperti ibu, saudara wanita dan seterusnya.[4]

Tindakan dalam menyamakan dalam zhihar adalah dengan maksud untuk mengharamkan hubungan antara suami istri. Zhihar terjadi manakala seorang suami ingin mengharamkan istrinya dengan mengucapkan kalimat”kamu seperti punggung ibu saya”. Maksudnya adalah bahwa saya menyatakan bahwa istri saya itu haram sebagaimana haramnya punggung ibu saya. Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian pada masa Arab jahiliyah. Sebagaiman halnya dengan ila’, maka zhihar dilakukan oleh suami yang tidak menyukai istrinya lagi, oleh karena suami tidak berani untuk mengatakan kata talak kepada istrinya.

b. Rukun-rukun Zhihar

1)      Yang menzhiharkan adalah suami

2)      Yang di zhiharkan adalah istri

3)      Orang yang disamakan dengan isteri adalah ibunya

c. syarat-syarat zhihar

1)      Suami yang mezhiharkan isteri mestilah suami yang boleh melakukan talak kepada istri.

2)      Zhihar yang dilakukan mesti seorang suami dan istri sah dalam perkawinan. [5]

c. Kafarat Zhihar

            kafarat zhihar disyaiatkan dengan Al-qur’an dan sunnah. Dari al-qur’an firman Allah SWT QS al-mujadilah :

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۖ فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“orang-orang yang menzhihar istri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kamu, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-mujadalah:3)

“barang siapa yang tidak mendapatkan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah dan begitu orang-orang yang kafir ada siksaan yang sangat pedih (al-mujadalah:4)

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kafarat dhihar itu ada tiga tingkatan :

1)        Memerdekakan hamba sahaya yang beriman

2)        Kalau budak tidak puasa, puasa dua bulan berturut-turut

3)   Kalau tidak sanggup puasa dua bulan berturut-turut, wajib memberi makan 60 orang miskin tiap-tiap orang mendapat1/4 dari ½ kg beras.[6]

4.ILA’

a. Pengertian

            Ila merupakan seorang laki-laki yang bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya secara mutlak atau lebih dari empat bulan. Hal ini dimaksudkan untuk menyakiti istri dan merendahkan keperempuanya. Lebih dari itu ia juga berpisah tempat tidur, menaruh kebencian, dan tidak memberi hak-hak sesuai yang disyariatkan.

            Sungguh Islam mengharamkan berbagai bahaya makar ini, serta membentuk hukum yang benar untuk menghapus segala permasalahan dan membersihkan keburukan.

            Perempuan yang tersakiti karena perbuatan tersebut, terlebih dahulu menghadap hakim bahwa ia disakiti, lalu hakim memerintahkan untuk menghapus sumpahnya dan kembali pada janji sebelumnya.

            Jika telah berjalan empat bulan tidak kembali dan menolak cerainya maka hakim menceraikanya dengan sekali cerai untuk menghilangkan bahaya darinya.

b. Dasar Hukum Ila’

yang menjadi landasan permasalahan ini adalah firman Allah SWT dalam al-qur’an surah al-baqarah ayat 226-227:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227

Artinya:kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya), kemudian jika mereka kembali kepada istrinya maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati) untk talak maka sesungguhnya Allah mendengar lagi maha mengetahui. (QS.Al-Baqarah ayat 226-227)

Ayat diatas Allah SWT bermaksud untuk menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang-orang jahiliyah dimana seorang suami bersumpah untuyk tidak mencampuri istrinya selama satu atau dua tahun bahkan lebih. Kemudian Allah menjadikanya selama empat bulan saja. Waktu yang ditetapkan Allah dijadikan bagi suami sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan mungkin ia membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau mentalaknya. [7]

 

 

 

c. Rukun Ila

menurut jumhur fuqaha, ial’ memiliki empat rukun :

1.      Al-haalif (orang yang bersumpah aau al-mauli)

Menurut madhab Hanafi orang yang melakukan ila adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki pernikahan dan disandarkanya kepada kepemilikan pernikahan atau orag yang tidak dapat mendekati istrinya kecuali dengan seseuatu yang berat yang harus dia penuhi.

Menurut madhab Syafi’i, orang yang melakukan ila’ adalah suami yang sah talaknya atau suamiyang aqil baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. Tidak ila’ yang dilakukan oleh anak kecil, orag gila, orang yang dipaksa dan orang yang lumpuh.

Menurut madhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami yang dapat melakukan persetubuhan yang bersumpah dengan nama Allah SWT atau salah satu sifatnya untuk tidak menyetubuhi istrinya yang dapat disetubuhi dalam masa melebihi empat bulan.

2.      Al-Mahluuf bihi (yang dijadikan sebagi sumpah)

Yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut sifat-sifatmya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali dan Maliki orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dilazimkan hukum ila’ jika ia bertujuan untyk menciptakan kemudharatan. Oleh sebab itu ditetapkan masaselam empat bulan.

3.      Al-mahluuf alaih (obyek sumpah)

Obyek sumpah adalah persetubuhan dengan semua lafadz yang mengandung pengertian persetubuhan. Misalnya aku tidak disetubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati kamu.

4.      Masa

Menurut pendapat jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi yaitu si Suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan, sedangkan menurut madzhab Hanafi masa yang paling minimal adalah lebih dari empat bulan, oleh karena itu jika si Suami bersumpah selama tiga bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ila’.

d.Syarat-Syarat Ila

1. si Suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam bahwa dia tidak menyetubuhi istrinya lebih dari empat bulan.

2. si Suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpahmenunggu selama empat bulan

3. si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina

4. yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah istri karena orang yang selain istri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak bisa melakukan ila’ kepada perempuan yang selain istri.[8]

5. LIAN

a. Pengertian

Lian merupakan sumpah suami yang menuduh istrinya berzina jika suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istriya berzina. Dengan mengatakan sumpah 4 kali di depan hakim dan pada ucapan pada kelima kalinya dia mengatakan” laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta”

Apabila suami sudah menjatuhkan lian, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya yaitu dilempari dengan batu sampai mati.

Agar istri terlepas dari hukum rajam bila ia merasa tidak berzina, ia harus menolak tuduhan suaminya dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim dan pada kali kelimanya mengatakan, “laknat (kutukan) Allah akan menimpa dirinku apabila tuduhan tersebut benar”.[9]

 

 

 

b. Hukum Lian

jika seorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti maka ia telah melkukan qadzaf dan berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Had tersebut tidak berlaku jika dia membawa 4 orang saksi sebagai bukti.

c. Akibat Hukum Li’an

v Akibat hukum Li’an bagi suami dan Istri

Akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Jumhur ulama mengemukakan alasan bahwa pada dasarnya diantara keduanya telah terjadi pemutusan hubungan, saling membenci, saling mengumbar hawa nafsu, dan merusak batasan-batasan Allah, yang semuanya mengharuskankeduanya untuk tidak berkumpul kembali selamanya. Demikian itu, karena pada dasarnya hubungan suami istri itu dibina atas dasar kasih sayang, sementara mereka tidak memiliki lagi rasa kasih sayang ini sama sekali, maka hukuman layak bagi keduanya adalah berpisah dan bercerai.

v  Akibat Li’an dari segi hukum

Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri yaitu li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan tersebut antara lain:

a.       Gugur had atas istri sebagai had zina

b.    Wajib had atas istri sebagai zina

c.       Suami istri bercerai untuk selamanya

d.   Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami oleh suami sebagai anaknya.[10]

6.’IDDAH

a. Pengertian

Secara bahasa kata ‘iddah berasal dari kata ‘addad (bilangan) dan iksha (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haid atau masa suci. Sedangkan secara istilah, ‘iddah merupakan sebutan atau nama bagi suatu masa bagi seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggal mati oleh suaminya atau setelah diceraikan, baik menunggu kelahiran bayinya atau berakhirnya beberapa quru’ atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. Pada masa itu seorang wanita tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya.

‘iddah wajib bagi seorang istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kematian maupun cerai karena faktor lain. Tujuan ‘iddah, antara lain untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak. Kalau ternyata hamil, maka anak yang dikandungnya adalah anak suami yang baru saja bercerai dengannya. Dengan demikian, status nasab dan hak waris bagi anak telah jelas.

b. Hikmah adanya ‘iddah

1. al-‘ilmu bi bara’ati ar-rakhim

      Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi didalam kandunganya agar menjadi jelas siap ayah dari bayi tersebut.

2.Ta’zhim khathar az zawaj

      Menegaskan betapa agungnya nilai sebuah perkawinan sehingga selepas dari suaminya, seorang wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi, kecuali setelah melewati masa waktu tertentu.

3.      Tathwil zaman ar raj’ah

Memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan didalam hal itu.

4.      Qadha’ haq az-zauji

Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan ynag dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika idah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.

c. Macam-macam ‘iddah

1. ‘iddah orang yang mempunyai masa-masa suci dan haid

      Bagi perempuan yang merdeka (bukan budak), masa ‘iddahnya adalah tiga kali suci dan haid.

2. ’iddah anak kecil dan orang tua yang sudah tidak datang bulan lagi

Seandainya perempuan itu merdeka, masa ‘iddahnya adalah tiga bulan.

3.      ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suami

‘iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suami adalah empat bulan sepuluh hari,

4.      ‘iddah perempuan hamil

Bagi perempuan yang sedang hamil, bagi perempuan meredeka ataupun dari  kalangan hamba sahaya (budak) maka masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayi yang ia kandung didalam rahimnya.

d.Larangan Bagi Wanita ‘iddah

1. menerima khitbah

2. menikah

3. keluar rumah

Wanita itu tidak diperkenankan keluar meninggalkan rumah tempat dia menjalani masa ‘iddah, kecuali ada uzur-uzur yang secara syar’i memang telah diperbolehkan atau ada hajat yang tidak mungkin ditinggalkan, misalnya membeli kebutuhan pokok.

5.      Berhias, kategori berhias sebagai berikut:

a)      Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak, atau sutra

b)      Menggunakan parfum atau wewangian

c)      Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagaian ulam yang memperbolehkanya memakai untuk malam hari karena darurat.

d)     Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna’) dan bentuk-bentuk pewarna lainya.

8.RUJUK

a.       Pengertian rujuk

Rujuk atau ar-raj’ah dalam bahasa arab merupakan isim masdar dari kata masdar dalam fiil madhi dan mudhori (رجع-يرجع) yang bermakna kembali. Menurut syariat adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa ‘iddahnya dengan ucapan tertentu.

b.      Hukum Rujuk

Hukum asli dari rujuk adalah mubah atau boleh dan merupakan hak bagi seorang suami. Akan tetapi hukum rujuk bisa berubah sebagai berikut:

1.    Wajib, bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu jika suami menalak salah seorang istrinya, sedangkan sebelum menalak ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.

2.    Sunah jika rujuk akan membuat lebih baik dan mafaat bagi suami istri. Misalnya rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.

3.    Makruh (dibenci) apabila meneruskan perceraian lebih bermnafaat daripada rujuk.

4.    Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri untuk mendurhakai Allah SWT.

c.       Rukun Rujuk

1.        Istri sudah bercampur dengan suami yang menalaknya dan masih berada pada masa ‘iddah raj’iyah

2.        Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri bukan karena dipaksa

3.        Ada dua orang saksi yaitu dua orang laki-laki yang adil

4.        Ada sigat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikan selama masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah, “saya pegang engkau”, “saya kawinkan engaku”, “Saya rujuk kepadamu”

d.      Hikmah Rujuk

1.      Rujuk dapat menghindarkan perbuatan dosa, rujuk memungkinkan suami menunaikan kewajiban yang ditinggalkan karena perceraian.

2.      Rujuk akan menghindari pecahnya hubungan kerabat.

3.      Rujuk akan menhindarkna terbengkalainya pendidikan anak.

4.      Rujuk akan menghindarkan gangguan jiwa.

5.      Rujuk akan mewujudkan islah, Islah yaitu perdamaian setelah tejadi peselisihan. [11]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

            Talak dari segi syara’ merupakan melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan lafadz talak atau seumpamanya.

            Khulu’ menurut bahasa berarti melepas. Khulu’ adalah tebusan yang dibayar oleh sang istri kepada suami yang membencinya agar ia (sang suami) dapat menceraikanya. Khulu’ sering disebut dengan talak tebus.

            zhihar menurut etimologi berasal dari kata zhahr yang berarti punggung. Sedangkan secara terminologi syariah, konteks membandingkan atau menyamakan istri dengan ibunya sering disebut dengan zhihar. Zhihar dapat didefinisikan sebagai seorang suami yang mengungkapkan bahwa istrinya itu menyerupai (secara hukum) dengan wanita yang haram dinikahinya secara seterusnya, seperti ibu, saudara wanita dan seterusnya.

            Ila merupakan seorang laki-laki yang bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya secara mutlak atau lebih dari empat bulan

       Lian merupakan sumpah suami yang menuduh istrinya berzina jika suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istriya berzina. Dengan mengatakan sumpah 4 kali di depan hakim dan pada ucapan pada kelima kalinya dia mengatakan” laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta”

            ‘iddah merupakan sebutan atau nama bagi suatu masa bagi seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggal mati oleh suaminya atau setelah diceraikan, baik menunggu kelahiran bayinya atau berakhirnya beberapa quru’ atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan

            Rujuk atau ar-raj’ah dalam bahasa arab merupakan isim masdar dari kata masdar dalam fiil madhi dan mudhori (رجع-يرجع) yang bermakna kembali

           

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

As-Subkhi, Ali Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga. Jakarta: Amzah.

Amin, Munir dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Sumatera: PT. Amzah.

Az-Zhuhali, Wahhab. 2011. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Jakarta: Gema Insani.

Azhim, Abdul. 2006. Al-Wazij. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.

Muhammad, Abdul Mujib Mabruri Tholhah Syafiah. Kamus Istilah Fiqih.

1995. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus

Qosim, M. Rizal. 2006. Pengamalan Fiqih 2 untuk Madrasah Aliyah Kelas XI.

            Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

http://ilmualfalah.blogspot.com/2015/11/makalah-khulu-dan-lian.html?m=1 diakses pada Kamis, 27 September 2018 pukul 19:49

 

 

 



[1] Ali Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm 330

[2]Ibid, hlm 330-337.

[3] M. Rizal Qosim, pengamalan Fiqih 2 untuk Madrasah Aliyah Kelas XI, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka mandiri, 2006), hlm 17

[4] Abdul Azhim bin badawi al-khalafi, Al-Wazij, (Jakarta: Pustaka as-sunnah, 2006), hlm 622

[5] Munir Amin & Samsul, kamus ilmu ushul fiqih, ( Sumatra: PT. AMZAH, 2005), Hlm 364

[6] Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah Muhammad, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hlm 442

[7] Ali Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm 359

[8] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm 467-471

[9] M. Rizal Qosim, pengamalan Fiqih 2 untuk Madrasah Aliyah Kelas XI, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka mandiri, 2006), hlm 18

[10] http://ilmualfalah.blogspot.com/2015/11/makalah-khulu-dan-lian.html?m=1 diakses pada Kamis, 27 September 2018 pukul 19:49

[11] M. Rizal Qosim, pengamalan Fiqih 2 untuk Madrasah Aliyah Kelas XI, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka mandiri, 2006), hlm 21-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar